Semua cerita dalam cerpen ini fiksi, jika ada kesamaan, maka itu
kebetulan belaka
CINTA
SEDERHANA
Andini. Wanita sederhana, wajah
biasa, penampilan bersahaja. Mempunyai cinta sederhana untuk seorang laki-laki
bernama Burhan. Dua bulan lagi akan menikah. Cinta sederhananya bertaut pada
setia dan percaya. Tak perlu syarat mendaki gunung, menyebrang lautan, 1000 candi.
Pertemuan dua keluarga, tanggal
pernikahan ditentukan, undangan cetak siap diedarkan, kebaya pengantin
berwarna putih dengan kerudung senada dipilih, pesanan makanan sampai hal
terkecil selesai dikerjakan. Sebulan penuh sibuk, semua berjalan begitu lancar.
…
Dan seperti pepatah jawa bilang
sebelum janur kuning melengkung. Ijab qabul terucap. Malam pengantin
terlaksana, semua dapat berubah. Seperti panas disiang hari berubah menjadi
hujan deras. Semua dapat terjadi dalam sebuah perjalanan cinta.
Laki-laki bernama Burhanuddin
telah menelponnya siang itu disaat Andini sedang menulis sebuah nama untuk
undangan pernikahan mereka.
“Tak perlu ada yang dimaafkan”.
Andini menjawab telepon itu dengan mata menerawang menatap gerimis diluar
jendela. Berusaha mengusir sesak yang tiba-tiba bergelayut meninggalkan setitik
air diujung matanya.
Laki-laki diujung tempat sana
masih melanjutkan seribu cerita.
“Maafkan aku! maafkan aku Andini.
Bukankah kau yang mengatakan
cinta tak dapat dipaksa, cinta tak dapat dibeli dengan harta, cinta hadir tak
kenal waktu, cinta …
Seperti cinta pertama, aku
mencintai wanita itu. Dan pernikahan ini keliru “
Hahh!!! Andini berkata dalam hati,
bahkan kau tak berpikir dan bertanya bagaimana perasaan kedua keluarga?
bagaimana perasaanku?. Tak soal biaya yang sudah keluar, tak soal malu yang
kutanggung, tak soal bisik-bisik kawan yang memberondong. Suara Andini hanya
mampu tertahan.
“Maafkan aku, Andini. Aku
mencintainya. Pada kenyataannya kita tak berjodoh. Aku akan menuntaskan segala
kesalahan ini” suara serak laki-laki diseberang tempat sana menutup percakapan
mereka.
Andini terpekur menatap kosong
undangan diatas meja. Sambil menghela napas dengan sakit didada, Andini mengeluarkan
kata, terbata-bata…
“tak perlu ada yang dimaafkan”.
Andini kembali terdiam dalam cinta sederhananya kepada Burhanuddin, dia
mengenal laki-laki itu semenjak kuliah. Sederhana, halus pekerti. 360 derajat
perubahan laki-laki itu sebelum pernikahan mereka yang tinggal menghitung hari.
Andini tak peduli, perempuan mana
yang merubah hati laki-laki itu, seperti dirinya tak peduli kepada perasaannya
yang berkecamuk mengamuk entah pada siapa.
Cintanya sederhana. Dia tak akan
mampu membenci wanita yang hadir tiba-tiba dalam rancangan pernikahan mereka.
Andini tahu! Banyak perjalanan cinta dengan segala lika-likunya.
Cintanya sederhana. Harga dirinya
menolak untuk mengiba-iba, menangis meminta cinta yang tak lagi untuknya tepat
disaat hari bahagia mereka akan segera terlaksana. Cintanya sederhana, meski
dia tahu hatinya telah tergores meninggalkan luka yang menganga.
…
Posting Komentar