Wajahnya cakep, kulit putih, mata
sipit, cina kalimantan.
Bertubuh tinggi, gendut. Dia
duduk disudut sofa kantor kepala sekolah, asyik memainkan tangan, sesekali
tertawa sendiri. Berdiri memperagakan seolah-olah dia aktor penembak jitu
" ciu.....ciu ". Suara kaku
seperti robot keluar dari mulutnya. Dia asyik dengan dunianya sendiri. Selalu berharap
tak ada atau tak perlu ada orang lain selain dirinya. Kehadiranku disana,
membuat dia menjaga jarak dan menatapku untuk kesekian kali saya memanggil. Dan
sekian detik.
Perkenalanku untuk yang pertama kali berlangsung 7 jam masa efektif saya bekerja, namanya "adrian gonzalles' tempat tinggal dijalan slamet riyadi, kesekolah naik taksi”. Itu tok. Setelahnya diam.
Perkenalanku untuk yang pertama kali berlangsung 7 jam masa efektif saya bekerja, namanya "adrian gonzalles' tempat tinggal dijalan slamet riyadi, kesekolah naik taksi”. Itu tok. Setelahnya diam.
Sebagai pegawai yang baru
bekerja, guru mencari info sebanyak-banyak nya dari siswa yang diampu tanpa
diberitahukan dahulu jenis ketunaan anak, nama, alamat, kelebihan, kekurangan
dll.
Setelah mendapatkan informasi
sebanyak mungkin, saya diharuskan membuat laporan. Dan dari laporan tersebutlah
ketika di cross cek pihak sekolah ternyata oh ternyata bu guru susiana telah
BERHASIL dikerjain sang murid.
Info yang saya dapatkan itupun
fiktif. nama palsu, alamat palsu dan taksi yang tak pernah mengantar.
Perkenalan yang mengesankan.
###
Saat pelajaran dimulai,
Otot saya pakai untuk mengerahkan dia agar mau ikut pelajaran dikelas, membujuk merayu mendorong dia, agar menuju lantai 2. Bukan pekerjaan yang mudah. Tubuh saya yang kecil kalah besar dengan tubuhnya.
Matematika, Mencatat, Olahraga adalah serangkainya pelajaran yang ia benci. Mengendap-endap , merangkak, merayap sampai mengkamuflase. Tujuannya hanya
satu “KABUR”. Aktivitas yang selalu ia lakukan dengan saya, mencoba meniadakan
saya dan seolah-olah saya tidak tahu tentang aktivitasnya. Jika sudah begitu
kadang saya akan turuti sebentar apa maunya, “Kura-kura dalam perahu, pura-pura
tak tahu”. Dia senang bukan main, meski pada ending nya dia akan menunaikan
tugas menulis sampai selesai.
Saat pelajaran dimulai,
Otot saya pakai untuk mengerahkan dia agar mau ikut pelajaran dikelas, membujuk merayu mendorong dia, agar menuju lantai 2. Bukan pekerjaan yang mudah. Tubuh saya yang kecil kalah besar dengan tubuhnya.
Matematika, Mencatat, Olahraga adalah serangkainya pelajaran yang ia benci. Mengendap-endap
Olah tubuh seperti olah raga adalah
hal yang tak pernah ia mau. Tak kurang ide. Saya ambil tali panjang aku ikat
diujung pada perutnya dan diujung lain pada perutku, aku lari didepannya.
Aku Ngos-ngosan bersama dia juga
Ngos-ngosan, keringat bercucuran didahiku seperti menarik kambing yang tak mau
dikorban.
Saat ujian datang, dia selalu menyalahkan semua jawaban, berharap saya akan marah dan membiarkan dia sendirian.
Tidak!! aku tidak berharap aku
kalah meski harus merelakan jam istirahat seharian untuk dia mengubah jawaban
yang betul.
Puncaknya.
Puncaknya.
Setiap dia gagal membuat saya
menyerah, dia akan berlari keruang kepala sekolah dan bersimpuh memohon agar
saya dipecat.
“Pak, tolong! Tolong! Pecat bu Susiana.”
“Pak, tolong! Tolong! Pecat bu Susiana.”
Ihiks… tentu saja hatiku
menangis. Anak dengan gangguan Autism dihadapanku ini tak pernah tahu kesedihan
gurunya.
Hatiku juga senang, karena terbayar
payah ku satu semester, dia berhasil. Hafalan jus 30 dan 29 ia kuasai.
Posting Komentar