Pukul
23.31, Yogyakarta.
Masih berkutat dengan seabrek pekerjaan.
Setelah menyelesaikan tiga ember besar tumpukan baju bau
ompol, dilanjutkan dua narasi pekerjaan kantor, soal tes akhir semester,
sekarang ingin melanjutkan sebuah cita-cita yang mengawang.
Seperti yang pernah saya baca ada pepatah arab mengatakan
seperti ini, “Man thalabah ‘ula sahiral
layali” siapa yang ingin mendapatkan kemuliaan, maka bekerjalah sampai jauh malam. Saya terlecut dengan pepatah
arab itu, ingin meraih kemulian tersebut.
Cita – cita mengawang saya yakni dapat membuat sebuah buku
hasil karya tangan saya sendiri. Meski itu masih jauh, tak mustahil, “Man Jadda wajada”, siapa yang
bersungguh-sungguh akan berhasil!!
Melakoni peran double
sebagai single parent. Kamu tahu
artinya, diperlukan kerja yang lebih keras dari orang biasanya.
Beberapa langkah yang akan saya ambil untuk memenuhi cita-cita
saya ini :
Pertama, banyak membaca buku referensi dari penulis-penulis
best seller, mempelajari bahasa kata dan juga seluk beluk penulisnya.
Kedua, bergabung dalam sebuah komunitas penulis.
Ketiga, menulis dan meng uploadnya agar dapat dibaca oleh
orang lain, serta menerima masukan baik yang manis maupun yang pedas sekalipun.
Keempat, terus menulis setiap hari. Mengirim naskah ke
penerbit. Pantang menyerah dan siap ditolak.
Kelima, setelah hal-hal diatas terlaksana, serahkan hasilnya
pada Allah SWT. Dengan memperbanyak do’a.
Pukul
00.00
Waktu sudah menunjukkan kalau sebentar lagi hari akan pagi. Ide
bermunculan tak terbendung. Kesulitan saya menuangkannya kedalam tulisan
yang enak untuk dibaca. Jika terus seperti ini, satu pun tulisan tak akan saya
hasilkan malam ini. Saya bertanya apakah mereka yang berprofesi jadi penulis mengalami
hal serupa yang saya alami saat ini, ya?? Kepada Habiburrahman El Shirazy, Tere
Liye, A Fuadi, mbak Helvi dan lainnya yang mana bukunya saya suka. Sayang
pertanyaan ini hanya menggantung di awing-awang kamar, tak pernah terlepas
menjadi kata yang tersusun dan terluncur dalam mulut.
Malah!!! Kini saya bikin mie goreng, laparrr.
Mie Instan begitu tulisan yang tertera dibungkus warna putih
dengan sebuah merk yang sedang naik daun dengan iklannya “Jadi! Ayamku”.
Meski Instan, saya masih harus pergi meninggalkan tempat
duduk, menyalakan kompor, mengisi panci dengan air dan menunggunya sampai air
itu berbunyi “Blutuk…blutuk” baru!! mie dimasukkan.
Belum selesai! Masih menunggu barang 3 menit. Tiriskan, aduk
dengan bumbu dalam sebuah piring. Dari awal sampai akhir pembuatan mie yang
katanya Instan tadi saya menghabiskan waktu kurang lebih 10 menit. Waktu yang
diperlukan menunggu agak adem dan memakannya memerlukan waktu 22 menit.
Instan saja masih perlu usaha dan waktu, pikirku sembari
menikmati nikmatnya mie goreng.
“Jadi!!! Tulisanku…….”
Posting Komentar