sejumput kenangan

Selasa, 04 Juni 2013 0 comments


Alam dengan udara yang bersih, pohon yang rindang, mentari dengan sinarnya yang cerah, air mengalir mengisi beberapa anak sungai dipingiran sawah yang membentang bak permadani raja. Jalan berliku, menanjak terjal, berlubang. Sejauh mata memandang rumah-rumah joglo khas jawa dengan jatinya yang ulet , sederhana berderet tak rapi. Desa Simo, masuk dalam kecamatan Kradenan kabupaten Groobogan, Provinsi Jawa tengah.

Saya senang melakukan perjalanan.  Menelusuri sudut-sudut kota kelahiran. Gotong royong, senyum ramah dan ketulusan berbagi. Namun, kedatangan saya di desa ini sedang tak untuk bersenang-senang.

Desa Simo  tahun 1999. Beberapa puluh kilometer jaraknya dari desa saya tinggal. Dengan beberapa teman laki-laki dan perempuan bertemu di Sekolah SMP Kuwu. Kami berenam menumpang bis jurusan Kradenan – Simo. Gludak-gludak, tampak jalanan tak semulus bayangan. Setelah lelah digoncang kekanan kekiri, naik turun terpantul-pantul dibangku penumpang, kini kami harus turun. Sudah sampaikah???

Ternyata belum. Bus hanya mau menurunkan penumpang didepan waduk Simo, setelahnya silahkan mengendarai kaki kalian masing-masing. Jika sedang beruntung lewat satu dua truk angkutan ternak akan ke pasar seberang desa yang sudah masuk kota lain, kota Sragen.

Menelusuri jalan raya yang halus karena bukan jalan angkutan umum, naik turun, sisi kanan kiri terlihat alas jati masih rimbun, beberapa rumah masih tampak. Jalan ini merupakan jalur alternative ke Sragen, Surabaya dan Solo. Perjuangan kami masih panjang. Kelelahan. Kami telah siapkan air mineral dari botol yang kami bawa dari rumah, karena kami tahu sepanjang jalan ini jangan harap ada toko atau warung makan dan minum. Berselonjor dipinggir jalan sambil celingukan menatap jalan dibelakang kami sambil terus berharap ada tumpangan.

5 menit sampai 10 menit, tak ada yang lewat kami terus berjalan. Alas jati masih rimbun. Jalan setapak kami turuni, disanalah dusun setingkat lebih rendah dari desa yang akan kami kunjungi. Kawan SMP kami seorang anak kepala dusun, cantik dan terbilang cerdas. Tiga tahun berkawan dengannya tak pernah sedikitpun mampu kusaingi prestasinya, berturut-turut masuk kelas unggulan, dengan nilai yang bagus.

Ini adalah perjumpaan kami yang terakhir sebelum dia di boyong kerumah suaminya.

Adat. Perempuan “konco wingking”, seberapapun dia pandai tetap teman dibelakang suami, tak perlu sekolah setinggi gunung “saru ndak kuwalat”, tabu mereka menyebutnya.

Kami berenam masih ingusan, bersedih disana teman kami. Usianya masih belasan tahun, menikah dengan pilihan orangtua. Kami menghibur atau mungkin hanya pelengkap kesedihannya yang tak mampu meneruskan ke SMA, seperti yang ia cita-citakan dahulu. Keberuntungan untuk melanjutkan sekolah yang lebih tinggi sedang tak berpihak kepadanya. Kami menangis berpelukan…..

_Sejumput kenangan untuk Siti Nurbaya_

 
Share this article :

Posting Komentar

 
Support : Creating Website | Johny Template | Mas Template
Copyright © 2011. My Note's - All Rights Reserved
Template Created by Creating Website Published by Mas Template
Proudly powered by Blogger