Alam dengan udara yang bersih,
pohon yang rindang, mentari dengan sinarnya yang cerah, air mengalir mengisi
beberapa anak sungai dipingiran sawah yang membentang bak permadani raja. Jalan
berliku, menanjak terjal, berlubang. Sejauh mata memandang rumah-rumah joglo
khas jawa dengan jatinya yang ulet , sederhana berderet tak rapi. Desa Simo,
masuk dalam kecamatan Kradenan kabupaten Groobogan, Provinsi Jawa tengah.
Saya senang melakukan perjalanan. Menelusuri sudut-sudut kota kelahiran. Gotong royong,
senyum ramah dan ketulusan berbagi. Namun,
kedatangan saya di desa ini sedang tak untuk bersenang-senang.
Desa Simo tahun 1999. Beberapa puluh kilometer jaraknya
dari desa saya tinggal. Dengan beberapa teman laki-laki dan perempuan bertemu
di Sekolah SMP Kuwu. Kami berenam menumpang bis jurusan Kradenan – Simo. Gludak-gludak,
tampak jalanan tak semulus bayangan. Setelah lelah digoncang kekanan kekiri,
naik turun terpantul-pantul dibangku penumpang, kini kami harus turun. Sudah sampaikah???
Ternyata belum. Bus hanya mau
menurunkan penumpang didepan waduk Simo, setelahnya silahkan mengendarai kaki
kalian masing-masing. Jika sedang beruntung lewat satu dua truk angkutan ternak
akan ke pasar seberang desa yang sudah masuk kota lain, kota Sragen.
Menelusuri jalan raya yang halus
karena bukan jalan angkutan umum, naik turun, sisi kanan kiri terlihat alas jati
masih rimbun, beberapa rumah masih tampak. Jalan ini merupakan jalur alternative
ke Sragen, Surabaya dan Solo. Perjuangan kami masih panjang. Kelelahan. Kami telah
siapkan air mineral dari botol yang kami bawa dari rumah, karena kami tahu
sepanjang jalan ini jangan harap ada toko atau warung makan dan minum. Berselonjor
dipinggir jalan sambil celingukan menatap jalan dibelakang kami sambil terus
berharap ada tumpangan.
5 menit sampai 10 menit, tak ada yang
lewat kami terus berjalan. Alas jati masih rimbun. Jalan setapak kami turuni,
disanalah dusun setingkat lebih rendah dari desa yang akan kami kunjungi. Kawan
SMP kami seorang anak kepala dusun, cantik dan terbilang cerdas. Tiga tahun
berkawan dengannya tak pernah sedikitpun mampu kusaingi prestasinya,
berturut-turut masuk kelas unggulan, dengan nilai yang bagus.
Ini adalah perjumpaan kami yang
terakhir sebelum dia di boyong kerumah suaminya.
Adat. Perempuan “konco wingking”,
seberapapun dia pandai tetap teman dibelakang suami, tak perlu sekolah setinggi
gunung “saru ndak kuwalat”, tabu
mereka menyebutnya.
Kami berenam masih ingusan,
bersedih disana teman kami. Usianya masih belasan tahun, menikah dengan pilihan
orangtua. Kami menghibur atau mungkin hanya pelengkap kesedihannya yang tak
mampu meneruskan ke SMA, seperti yang ia cita-citakan dahulu. Keberuntungan untuk
melanjutkan sekolah yang lebih tinggi sedang tak berpihak kepadanya. Kami menangis
berpelukan…..
_Sejumput kenangan untuk Siti
Nurbaya_
Posting Komentar