Hidup memang realistis, butuh materi.
Teleponku berdering.
Beberapa kali.
Kesibukan liburan
bersama ketiga buah hati, menyita perhatianku dan menggeser untuk beberapa saat
tak mengindahkan panggilan Hp.
Telepon itu kembali berdering, kali ini kuangkat.
Suara diseberang sana merdu menyapaku lembut.
“ Bagaimana, miss?? Bersedia kan menjadii guru untuk anak
saya. Kami siap mengantar anak kami ke kos. Atau menjemput dan mengantar miss.
Tolong anak saya dalam belajar ya miss, dia membutuhkan bimbingan khusus.”
Hatiku bergejolak antara mengiyakan dan menolak.
Bagaiman tidak. Ini kesempatan langka yang menyapa,
kesempatan menambah income dan kasihan juga anak itu perlu bantuan saya.
Menolak.
Bagaimana dengan anak-anak saya?? Waktu mereka akan tersita
lagi.
Meski satu jam.
Kali ini saya tak bisa beralasan, jawaban telah ditunggu
suara diseberang sana, ini kali kedua dia meminta saya.
“Iya ibu. Saya meminta maaf belum bisa membantu ananda dalam
memberikan tambahan pelajaran”
Ada nada kecewa dari penolakan saya kepada suara lembut
milik sang ibu. Maaf.
Hidup memang realistis, realistis juga dengan keadaan saya.
Sebagai manusia yang
hidup berdampingan dengan yang lain, materi menjadi ukuran , meski tak selalu.
Saya pun tak menafikan, bahwa saya juga butuh materi untuk
hidup.
Realistis juga, manfaat dan mudharatnya, kali ini saya yakin
dengan pilihan saya.
Posting Komentar